Dua orang gadis. Hanya mereka berdua. Di bawah langit cerah di
tengah telaga keduanya basuhkan diri. Yang seorang menyanggul rambut. Lekukan tubuhnya
tampak terekam pada sarung cokelat yang setangah basah. Senyumnya mekar. Ia
tampak anggun. Seorang yang lain bersimpuh di atas batu. Rambutnya dibiarkan
jatuh hingga melewati bahu. Senyumnya tipis. Ia tampak lebih ayu. Keduanya
adalah perempuan Aceh yang jelita. Tidak terlukis guratan kesedihan pada wajah
mereka. Hijau daun, bunga merah pada ranting-ranting, dua bilah arus jatuh, dan
bening telaga membuat kedua perempuan itu tampil serupa nyata.
Demikian lukisan kata atas lukisan Hamdi
Afkar yang berjudul ‘Dara
Leuser’ (Canvas,Oil Painting, & Meries 100 x 8 cm, 2005). Sebuah lukisan
yang menampilkan dua perempuan desa di kaki Leuser pedalaman Nanggroe
Aceh Darusallam. Pelukis muda kelahiran Aceh Barat Daya ini tidak hanya piawai
melesatkan chiaroscuro cahaya dengan permainan warna untuk melulu
menampilkan keindahan tetapi juga sanggup mengedepankan imajinasi atas fakta
untuk mencapai tujuan bahwa sebuah karya telah dengan lebih baik meniru
penampilan objek.
Objek tidak hanya dipindahkan ke atas kanvas dengan indah dan
akurat tetapi juga dan bersamaan dengan itu mengendapkan imajinasi tentang
keindahan itu sendiri. Sehingga lukisan tampak tidak sekedar merekam momen,
tetapi juga mencoba untuk melampauinya dengan isi dan makna.
Menyelami ‘Dara Leuser” Hamdi Afkar dan lukisan-lukisannya yang
lain dalam ragam tema yang disajikan seperti “Dara Woe dimoen” (canvas,
Oil Painting, & Meries 100 x 8 Cm 2005), “Perembang” (canvas,oil painting,
& meries 80 x 60 Cm 2005), “Senja di Pantai Calang” Canvas,Oil Painting,
& Meries 100 x 80 Cm 2005) “Istana Pasca Tsunamai “ (Canvas,Oil Painting,
& Meries 80 x 70 Cm 2005) dan “Senja yang bisu”Canvas,Oil Panthing, &
Meries 100 x 80 Cm 2005), saya lantas berkesimpulan bahwa lukisan-lukisan Hamdi
Afkar adalah termasuk dalam kategori aliran realisme naturalisme. Realisme
menunjuk pada isi dan roh lukisan-lukisannya. Sedangkan naturalisme
mengedepankan pada keakuratan bentuk fisik dan volume bendanya.
“Melukis Dalam Dimensi Realisme Naturalisme
Dengan Demikian Sebenarnya Tidaklah Sebatas Merekam Fakta Dengan Memberi Warna
Atasnya. Tetapi Juga Melibatkan Sejarah, Latar Belakang Sosial, Budaya Dan
Kebiasaan Objek Lukisan Yang Terkristal Dalam Imajinasi Seorang Pelukis”
Herri
‘Solo’ Soedjarwanto, raja realisme Indonesia menjelaskan realisme
naturalisme dengan sangat menarik. Menurutnya “lukisan realisme adalah lukisan
yang menggambarkan, menceritakan, berbicara tentang sebuah realita, kenyataan
dalam kehidupan pribadi maupun realita yang hidup dalam masyarakat. Dan apabila
dalam penggambarannya dan atau teknik pengungkapannya mengambil bentuk-bentuk
fisik alami dengan anatomi, proposisi dan perspektif yang tepat dan hidup, maka
lukisan tersebut dapat disebut sebagai lukisan realisme natularalisme atau
sering disebut dengan lukisan realisme saja”
Saya mengajak pembaca untuk menyelami lagi lukisan ‘Dara Leuser’
Hamdi Afkar. Melalui lukisan tersebut Hamdi Afkar tidak hanya menampilkan
kembali realitas dan fakta tentang sungai, telaga, gunung dan perempuan sebagai
objek material lukisan yang berpadu dengan begitu indah karena proposisi
cahaya dan warna yang alamiah (naturalisme), tetapi juga keikutsertaan dan atau
keterlibatannya dalam menghadirkan roh atas lukisannya Bahwa kedekatan antara
manusia dengan alam, kedamaian dan ketenteraman situasi pedesaan adalah sebuah
kearifan budaya yang perlu untuk ditampilkan dan diterus-wariskan (realisme).
Melukis dalam dimensi realisme naturalisme dengan demikian
sebenarnya tidaklah sebatas merekam fakta dengan memberi warna atasnya. Tetapi
juga melibatkan sejarah, latar belakang sosial, budaya dan kebiasaan objek
lukisan yang terkristal dalam imajinasi seorang pelukis. Dengan demikian adalah
sebuah kesalahan fatal jika menggambarkan lukisan sebagai sekedar indah dan
alamiah, sebagaimana adanya, tanpa melibatkan imajinasi tentang konteks
kerberadaan objek tersebut direkam. Secara pribadi, saya melihat bahwa Hamdi
Afkar, dalam lukisan-lukisannya sudah sedang menghadirkan dimensi ini. Bahwa
melukis tidak sekedar memberi warna agar lukisan tampak hidup, tetapi melampaui
itu, tentang sesuatu yang hidup dan kehidupan itu sendiri.