BAB I
PENDAHULUAN
MENUJU KESEMPURNAAN HIDUP SECARA ISLAMI
Oleh Hamdi, S.HI
PENDAHULUAN
MENUJU KESEMPURNAAN HIDUP SECARA ISLAMI
Oleh Hamdi, S.HI
A. Filsafat Pendidikan Al-farabi
Suatu Telaah Filosofis atas Pendidikan menurut Al-Farabi (872-950 SM)
Pendidikan bagi al-Farabi adalah sesuatu yang pantas diperjuangkan. Ia menyatakan hal ini dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi tempatnya yang masih peduli pada hal-hal mitis dan yang selalu menghindari aspek pengetahuan akal budi. Di sini, budaya Islam juga sangat kental mempengaruhi. Dalam usaha ingin memperbaiki keadaan negrinya ia melahirkan suatu ide tentang pendidikan yang didasarkan oleh filsafat Plato dan Aristoteles. Maka, al-Farabi dengan mengikuti filsafat mereka mencoba memperkenalkan metode yang menurutnya mampu membawa bangsanya keluar dari pandangan sempitnya ini dan kemudian bisa menemukan realitas yang sesungguhnya
. Tujuan dasar pendidikan al-Farabi adalah untuk mencapai kesempurnaan hidup yang dimaknai dengan kebahagiaan yang akan didapatkannya. Usaha untuk mencapai tujuan ini adalah dengan keberanian akan keterbukaan. Dengan keberanian tersebut, manusia dapat bergulat dalam hidup sehingga itu akan membawanya pada kemampuan untuk melihat realitas yang sesungguhnya. Hal ini juga akan membawanya pada pencerahan yang bila dikembangkan mampu mengantarnya kepada kesempurnaan. Al-Farabi sangat menginginkan bangsanya bisa menemukan realitas yang sesungguhnya dan karenanya ia membuat suatu konsep pendidikan menurut paradigma Islam. Konsep ini merupakan suatu kesatuan antara yang teoritis dan praktis yang mampu menguak kebenaran yang sesungguhnya. Kesatuan yang teoritis dan yang praktis dalam filsafat al-Farabi adalah kesatuan antara yang demonstratif dan yang persuasif. Al-Farabi dengan filsafatnya mencoba menguraikan kedua hal ini dan mengajak kita untuk hidup dengan kedua posisi ini yang tentunya jika dituang ke dalam tindakan sebaiknya disesuaikan dengan konteks.
Maka dengan paper ini penulis akan menjabarkan dan menjelaskan filsafat pendidikan al-Farabi yang sarat akan filsafat Plato dan Aristoteles. Penulis akan mencoba menjelaskan ke dua metode al-Farabi, yaitu demonstratif dan persuasif, dalam bab mengenai metode pembelajaran. Kemudian akan dilanjutkan pemahaman pendidikan filsafat yang berisi mengenai pentingnya pendidikan filsafat dan teologi agar anak didik mendalami akal budi, moralitas, dan iman. Dalam bab selanjutnya mengenai tujuan pendidikan akan dipaparkan mengenai usaha yang mau diwujudkan oleh al-Farabi. Kemudian dalam makna pembelajaran, penulis akan memberikan masukan mengenai makna yang ingin diusahakan, hukuman bagi yang melanggar kesepakatan, dan sisi rekreatif dari pendidikan al-Farabi. Di akhir penulis akan memberikan tanggapan kritis atas filsafat pendidikan al-Farabi ini.
B. Sekilas Tentang Al-Farabi
Al-Farabi terlahir dari keluarga bangsawan di provinsi Farab di Turkestan pada 872 SM tepatnya di Wasij. Ayahnya berasal dari Persia dan ia merupakan komandan angkatan Darat Turki. Ketika bersekolah, ia pindah ke Baghdad dan di sana ia belajar grammar, logika, filsafat, musik, matematika, dan ilmu alam. Ia merupakan murid dari Abu Bishr Matta b. Yunus, seorang penerjemah dan penafsir filsafat Yunani di Baghdad. Kemudian ia melanjutkan studinya kepada Yuhanna b. Haylan, seorang Nestorian di Harran . Dalam masa studinya ini ia bergabung dengan sekolah Alexandria yang sangat menekankan filsafat Aristoteles.
Pada 943 SM, ia pindah ke Aleppo dan menjadi bagian dari kelompok literatur. Al-Farabi memiliki keinginan besar untuk memahami jagad raya serta isinya, termasuk manusianya. Maka untuk mengetahui hal-hal tersebut ia harus meraih intelektual secara komprhensif mengenai dunia dan masyarakat. Untuk mewujudkannya ia dengan teliti dan tekun belajar mengenai filsafat kuno, terutama Plato dan Aristoteles. Dalam pemahamannya lebih lanjut filsafat yang ia pelajari ia kembangkan dan kontekstualkan dengan dunia Islam yang menurutnya perlu dikembangkan menjadi lebih terbuka dan beradab.
Dalam filsafat pendidikannya ia sering dikatakan filsuf tabu karena ia memperkenalkan pendidikan yang helenistik dalam dunia islam. Ia memperkenalkan logika demonstratif yang dengannya dasar sosial dan pendidikan diilustrasikannya sebagai formasi atas kesadaran politis dan pikiran. Walaupun begitu, ia tetap bertahan pada pandangannya. Ia merasa pandangannya dapat mengubah cara pandang orang-orang Arab untuk dapat menjadi lebih kritis, terbuka, dan bertanggung jawab.
C. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan dalam filsafat Al Farabi adalah untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan. Untuk itu tugas pendidikan adalah mempersiapkan manusia sebagai anggota yang siap terjun ke masyarakat . Persiapan ini dimulai sedari kecil sehingga di masa dewasa ia akan punya tabiat baik terutama dalam meraih kesempurnaan dan juga tujuan-tujuan yang dibuatnya. Pendidikan semacam ini, menurut al-Farabi, penting untuk jiwa manusia. Keseluruhan aktvitas pendidikan, dalam perspektif Al Farabi, merupakan peraihan nilai-nilai, pengetahuan intelektual dan keterampilan praktis, yang kemudian harus dikembangkan pada tujuannnya yaitu membawa manusia kepada kesempurnaan.
Dengan peraihan kesempurnaan, kemanusiaan tidaklah bisa dilupakan. Salah satu contoh adalah pencapaian kebahagiaan di dunia ini merupakan pencapaian tujuan di mana kebahagiaaan merupakan kesempurnaan tertinggi dan didalamnya terdapat proses memandang sesamanya secara manusiawi. Kesempurnaan manusia, menurutnya, adalah proses akhir dalam meraih nilai-nilai teoritis atau pengetahuan intelektual dan nilai-nilai praktis atau tingkah laku bermoral. Dengan usaha pencapaian kedua hal ini, individu akan bisa masuk ke dalam masyarakat dengan menjadi anggota masyarakat. Individu yang kental dengan sifat ini akan bisa menjadi teladan dan kemudian bisa menjadi seorang pemimpin. Pendidikan semacam ini juga menyangkut moral dan estetika. Hasil yang dicapai adalah satu yaitu kebahagiaan dan kebaikan. Kesempurnaan teoritis dan praktis di sini diraih di dalam masyarakat karena pemahaman kebebasan manusia itu ada setelah masyarakat. Individu memang tidak pernah berdiri sendiri melainkan mengandaikan bimbingan orang lain.
Tujuan lain dari filsafat pendidikan al-Farabi adalah pembentukan pemimpin-pemimpin politik yang handal . Dalam menuju keutuhan masyarakat memang tidak salah lagi bila dibutuhkan seorang pemimpin semacam itu. Masyarakat atau kehidupan sosial dalam konteks al-Farabi ada karena terjadi integrasi antara individu, keluarga, dan kelompok. Pemimpin politik memiliki fungsi sebagai dokter yang menyembuhkan jiwa sehingga dengan kepemimpinannya jiwa masyarakat akan selalu sehat. Seorang pemimpin diusahakan mampu menyemangati masyarakatnya untuk dapat menolong satu dengan yang lain. Terutama dalam meraih sesuatu yang baik dan menghindar dari yang jahat. Kemampuan politisnya harus digunakan untuk menjaga nilai-nilai yang mampu mengembangkan masyarakat.
Kesempurnaan masyarakat al-Farabi dapat terjadi bila ada keseimbangan moral di antara setiap masyarakat. Ketika tingkah laku moral menurun dan tidak ada kepercayaan terhadap pemimpin maka masyarakat akan menuju kepada kehancurannya. Maka, moralitas di sini menjadi dasar objektif dari pendidikan. Dengan adanya moralitas, negara bisa bertahan dan mewujudkan dirinya. Keutamaan moral, oleh al-Farabi, didefinisikan sebagai keadaan dalam pikiran yang dengannya manusia mampu melahirkan tindakan-tindakan yang sopan dan santun. Dalam filsafat al-Farabi pendidikan dijadikan proses untuk mengkombinasikan yang teoritis dan praktis tersebut. Kesempurnaan dari hal-hal tersebut merupakan tujuan akhir di mana kebahagiaan juga eksis.
Untuk menerapkan filsafatnya dalam kehidupan sehari-hari, al-Farabi membagi tugas terhadap beberapa figur masyarakat. Misalkan seorang imam, ia memiliki tanggung jawab besar dalam pendidikan ini. Imam adalah orang yang dihormati dan diteladani maka dari itu imam memegang peranan mendidik. Kotbah sang imam harus seputar kesempurnaan moralitas, yaitu kesatuan teori dan praktek. Juga, pendidikan merupakan tanggung jawab negara sehingga negara berperanan dalam budget pendidikan. Oleh al-Farabi, budget pendidikan dalam negara diambil dari sebagian zakat dan kharaj (pajak tanah) .
D. Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran al-Farabi tercipta dengan mengacu pada tujuan itu sendiri, yaitu untuk meraih kesempurnaan dan kebahagiaan. Tujuan ini dicapai bukan untuk kebutuhan pribadi semata melainkan untuk terciptanya masyarakat yang islami. Maka, dengan melihat ini al-Farabi percaya bahwa metode pembelajaran dengan metode instruksi dapat dikatakan sebagai metode yang baik untuk diterapkan kepada orang-orang. Namun, metode ini tidak begitu saja bisa diajarkan ke semua orang, melainkan ada levelnya yaitu level orang-orang biasa dan orang elit. Bagi orang-orang biasa, dasar metodenya adalah persuasif dan bagi orang elit adalah demonstratif.
Dalam metode demonstratif, anak didik diajak untuk mencapai nilai-nilai teoritis. Prosesnya dijalankan dengan melakukan “instruksi oral ’ misalnya dengan kegiatan speech . Al-Farabi juga menekankan pentingnya diskusi dan dialog dalam metode instruktif. Metode ini digunakan agar anak didik mampu meraih pemahaman yang sebenarnya. Al-Farabi dengan metode ini sangat mengikuti Plato di mana ia ingin anak didiknya mendapatkan penerangan akan realitas yang sebenarnya. Ia tidak ingin setiap manusia, terutama dalam dunia Islam , tidak mampu melihat realitas an sich. Maka dengan begitu pemahaman dan pengertian sangat ditekankan dan menjadi metode yang pasti untuk meraih kesempurnaan dan kebahagiaan. Konsep yang logis dan universal merupakan tantangan metode ini karena tanpa kedua karakter tersebut pengetahuan tidak bisa memberikan pencerahan. Metode ini juga tidak begitu saja bisa diterima melainkan harus ada bukti-bukti yang mendukung agar pengetahuan yang didapat bisa dipercaya dan diikuti.
Pencapaian nilai-nilai seni dan moral merupakan ciri dari model persuasif. Model ini merupakan metode yang mengajak atau mempengaruhi orang tanpa butuh kepastian pengetahuan atau tanpa diharuskannya ada bukti-bukti yang mendukung. Persuasi akan berjalan bila orang yang dipengaruhi merasa senang dan puas. Intinya jiwa orang tersebut dapat merasakan dan membayangkan sesuatu yang baik, dimensi afektif sangat ditekankan di sini. Metode instruksi al-Farabi memiliki dua aspek yaitu model audisi dan model imitasi . Dalam model audisi, anak didik belajar dengan didasarkan pada kemampuan berbicaranya yang disertai dengan pemahaman dan pengertiannya akan realitas sedangkan model imitasi adalah dengan mengamati gerak-gerik orang lain dahulu dan kemudian menirunya. Konsep ini memiliki arti hanya untuk meniru hal-hal yang baik dan yang mengembangkan sikap berbakti.
Untuk meraih kesempurnaan dari metode yang dibuatnya ini, al-Farabi sangat menekankan kebiasaan. Kebiasaan yang mengakar akan menjadikan anak didik semakin mengerti akan isi pembelajaran yang diberikan oleh para instruktor. Nilai-nilai etis juga digapai dengan melakukan kebiasaan dan repetisi sehingga nilai-nilai ini dapat tertanam dengan kuat di dalam pikiran. Dengan demikian, anak didik diharapkan dapat bertingkah laku bermoral. Model pengulangan juga mungkin dalam mengajarkan seni di mana kebiasaan yang akan dikembangkan adalah kemampuan berbicara yang persuasif, afektif, dan reflektif. Metode kebiasaan seperti ini baik diterapkan kepada orang-orang yang kurang taat karena dengan mengajak mereka membiasakan diri berpikir dan bertingkah laku yang baik akan ada kemungkinan mereka akan kembali ke jalan yang benar. Al-Farabi menyatakan bahwa untuk mengubah orang dengan membiasakannya pada sesuatu yang baik itu mungkin.
E. Pendidikan Filsafat
Dalam sistem pembelajarannya, al-Farabi menekankan pendidikan filsafat untuk semua orang. Ini dimaksudkan agar pikiran semua orang dapat terbuka terhadap berbagai fenomena di dunia ini sehingga memampukan mereka untuk menginterpretasikan fenomena tersebut dengan kritis, terbuka, dan bertanggung jawab. Al-Farabi menempatkan pendidikan filsafat sebagai bentuk pembelajaran yang tertinggi karena pendidikan tersebut membawa manusia pada bentuk kehidupan yang lebih tertata, entah dalam tataran tindakan maupun pemikiran. Filsafat juga memampukan manusia untuk mencari dan menemukan sesuatu yang terbaik bagi dirinya dan bagi komunitasnya. Hasil yang dicapai jika proses ini tercapai adalah kebahagiaan. Jika manusia telah mencapai titik ini maka jiwanya telah naik ke level yang lebih tinggi yaitu level manusia yang rasional. Dalam level ini dua elemen eksistensi manusia bertemu yaitu elemen biologis dan natural serta elemen intelektual dan spiritual.
Dalam filsafatnya juga, al-Farabi menyertakan dua metode yang berbeda, yaitu (a) metode turunan yang diawali dari sebab (the One) dan diakhiri dengan akibat (the world of senses). Metode ini terdapat dalam buku On the Views of the People of the Ideal City. Sedangkan yang lainnya adalah (b) metode naikan yang diawali dengan akibat dan diproses menjadi sebab. Metode yang kedua ini terdapat dalam bukunya Politics .
Kurikulum dalam pendidikan al-Farabi disusun sedemikian rupa dari yang ringan hingga yang rumit atau dari yang sekular sampai ke yang religius. Kurikulum awal pendidikan tersebut adalah bahasa, kemudian dilanjutkan dengan logika, matematika, ilmu alam, ilmu politik, fiqh, hukum, dan teologi (kalam) . Dengan urutan kurikulum yang semacam ini, anak didik diharapkan mampu berkembang dalam akal budi, moralitas, dan iman. Ia akan menguasai ilmu yang ada di dunia ini namun ia tidak lupa akan pencipta dari ilmu tersebut.
F. MAKNA PEMBELAJARAN
Perhatian utama al-Farabi dalam memaknai pembelajaran adalah untuk pengklasifikasian, pemahaman, dan penyadaran manusia akan arti hidup . Dia merekomendasikan bahwa manusia dalam pengklasifikasian, pemahaman, dan penyadaran ini dapat menggunakan observasi visual. Hal ini dimaksudkan agar manusia dapat mengerti relaitas sesuai dengan jangkauan inderanya. Dalam menuju abstraksi dari observasi visual, anak didik terlebih dahulu diajak untuk mendefinisikan sesuatu yang ditangkapnya dan kemudian anak didik diminta untuk menjelaskan dengan seksama sesuatu tersebut dengan menggunakan ilustrasi atau semacamnya. Yang jelas, anak didik mendapatkan makna dalam pembelajaran yang memang membutuhkan proses yang rumit dan lama.
Untuk menuju pencapaian makna pembelajaran yang maximal namun tidak membuat anak didik stress dan putus asa maka al-Farabi memberi perhatian kepada rekreasi yang mendukung yaitu dengan permainan atau penceritaan kisah-kisah yang menarik. Tujuan dari rekreasi ini adalah untuk membuat mereka menerima sisi humor dari kehidupan. Dengan sistem pembelajaran yang ketat dan berat dan kemudian diimbangi dengan rekreasi yang mendukung adalah usaha untuk membuat anak didik tidak sampai pada kelelahan atau kejenuhan yang berlebih. Dalam proses ini makna yang ingin ditarik adalah bahwa anak-anak didik dalam menanggapi dunia tidak diharapkan menganalisisnya dengan sesuatu pengetahuan teoritis yang tinggi melulu atau dengan tingkah laku praktis yang emosional melainkan mampu bersikap kreatif, yaitu mampu mengkondisikan diri berdasarkan waktu dan ruang yang ada. Dalam hal ini anak didik diharapkan tahu kapan ia menganalisis, mempersuasikan, ataupun berada ditengahnya.
Al-Farabi juga berbicara mengenai hukuman dalam filsafat pendidikannya di mana dengan hukuman anak didik suatu ketika dapat mengerti makna pembelajaran yang diberikannya. Seorang guru menurutnya tidak boleh terlalu keras dan juga tidak boleh terlalu lembut. Jika ia terlalu keras maka anak-anak didiknya akan memusuhinya dan jika ia terlalu lembut maka anak-anak didiknya akan menjadi pemalas dan mereka tidak akan menaruh perhatian pada pelajaran sang guru. Maka posisi sang guru harus berada di tengah atau bersikap moderat. Posisi menjadi guru memang rumit tetapi ini dibutuhkan agar menghasilkan anak yang beguna untuk masyarakat yang akan mampu mengendalikan negara yang didiaminya. Oleh karena itu tindakan seorang guru harus benar-benar diperhitungkan apakah tindakan yang dibuatnya itu patut diteladani atau tidak. Hukuman yang diberikan sebaiknya tidak terlalu membahayakan dan mampu mengajak anak didik untuk berpikir reflektif terhadap kesalahan yang telah ia buat. Hukuman sebaiknya tidak mendeskriditkan atau menjatuhkan jiwa anak didik melainkan mengembangkannya untuk berpikiran kreatif dan maju ke depan dengan sesuatu yang positif. Kemudian, seorang guru juga perlu tegas. Hal ini dibutuhkan untuk pendisiplinan anak didik. Dengan ketegasan seorang anak didik akan mendapatkan kepastian pembelajaran sehingga tidak membuat mereka berperilaku menyimpang. Guru yang kurang tegas akan memberi peluang anak didik berbuat yang kurang baik dalam proses belajar mengajar.
Tanggapan Kritis
Setelah mendalami dan memahami fisafat al-Farabi ternyata ia adalah orang yang cemerlang. Cemerlang di sini dalam arti ia berani untuk bersikap dan bertanggung jawab terhadap kondisi zamannya dengan menciptakan suatu pendidikan yang berguna untuk menciptakan masyarakat yang bermutu. Filsafat helenis memang pada saat itu merupakan filsafat yang bertentangan dengan kebudayaan dan tradisi Islam namun al-Farabi berani membawanya dan kemudian mengintegrasikan filsafat tersebut dalam konteks Islam.
Penekanan pendidikan dalam filsafat al-Farabi adalah akal budi. Di sini akal budi lebih dikembangkan ketimbang emosional. Pencapaian dengan akal budi akan membawa pencerahan yang murni dan itu mampu membawa manusia melihat realitas yang sesungguhnya, tentunya dengan ada cukup bukti. Namun, indahnya filsafat al-Farabi ini tidak berhenti pada akal budi saja melainkan dikembangkan bersama dengan moralitas dan iman. Pengetahuan tidak bisa berdiri begitu saja tanpa ada moralitas dan agama. Di sinilah kekuatan dan ciri khas dari al-Farabi di mana pengetahuan bukan sesuatu mutlak yang harus diraih melainkan terintegrasi dalam hasil akhir yaitu kesempurnaan dan kebahagiaan. Maka dari itu, walaupun filsafat ini merupakan filsafat zaman antik namun sepertinya filsafat pendidikan seperti ini masih perlu dikembangkan di zaman sekarang ini. Kesatuan antara yang teoritis dan praktis memang perlu diwujudnyatakan bersamaan dengan iman dan pengharapan.
http://amazingfilsafat.blogspot.cama lengkap al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya`qub ibn Ishaq ibn Shabbah ibn Imran ibn Isma`il ibn Muhammad ibn al-Asy’ath ibn Qais al-Kindi. Tahun kelahiran dan kematian al-Kindi tidak diketahui secara jelas. Yang dapat dipastikan tentang hal ini adalah bahwa ia hidup pada masa kekhalifahan al-Amin (809-813), al-Ma’mun (813-833), al-Mu’tasim (833-842), al-Wathiq (842-847), dan al-Mutawakkil (847-861).
Al-Kindi hidup pada masa penerjemahan besar-besaan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Dan memang, sejak didirikannya Bayt al-Hikmah oleh al-Ma’mun, al-Kindi sendiri turut aktif dalam kegiatan penerjemahan ini. Di samping menerjemah, al-Kindi juga memperbaiki terjemahan-terjemahan Sebelumnya. Karena keahlian dan keluasan pandangannya, ia diangkat sebagai ahli di istana dan menjadi guru putra Khalifah al-Mu’tasim, Ahmad. Ia adalah filosof berbangsa Arab dan dipandang sebagai filosof Muslim pertama. Memang, secara etnis, al-Kindi lahir dari keluarga berdarah Arab yang berasal dari suku Kindah, salah satu suku besar daerah Jazirah Arab Selatan. Salah satu kelebihan al-Kindi adalah menghadirkan filsafat Yunani kepada kaum Muslimin setelah terlebih dahulu mengislamkan pikiran-pikiran asing tersebut.
Al-Kindi telah menulis hampir seluruh ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu. Tetapi, di antara sekian banyak ilmu, ia sangat menghargai matematika. Hal ini disebabkan karena matematika, bagi al-Kindi, adalah mukaddimah bagi siapa saja yang ingin mempelajari filsafat. Mukaddimah ini begitu penting sehingga tidak mungkin bagi seseorang untuk mencapai keahlian dalam filsafat tanpa terlebih dulu menguasai matematika. Matematika di sini meliputi ilmu tentang bilangan, harmoni, geometri dan astronomi. Yang paling utama dari seluruh cakupan matematika di sini adalah ilmu bilangan atau aritmatika karena jika bilangan tidak ada, maka tidak akan ada sesuatu apapun. Di sini kita bisa melihat samar-samar pengaruh filsafat Pitagoras.
Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive), daya pemarah (irascible), dan daya berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya berpikir sebagai sais kereta dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing dan babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja. Menurut al-Kindi, fungsi filsafat sesungguhnya bukan untuk menggugat kebenaran wahyu atau untuk menuntut keunggulan yang lancang atau menuntut persamaan dengan wahyu. Filsafat haruslah sama sekali tidak mengajukan tuntutan sebagai jalan tertinggi menuju kebenaran dan mau merendahkan dirinya sebagai penunjang bagi wahyu. Ia mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang segala sesuatu sejauh jangkauan pengetahuan manusia. Karena itu, al-Kindi dengan tegas mengatakan bahwa filsafat memiliki keterbatasan dan bahwa ia tidak dapat mengatasi problem semisal mukjizat, surga, neraka, dan kehidupan akhirat. Dalam semangat ini pula, al-Kindi mempertahankan penciptaan dunia ex nihilio, kebangkitan jasmani, mukjizat, keabsahan wahyu, dan kelahiran dan kehancuran dunia oleh Tuhan.
(Source: Sekilas sejarah pemikiran filosof di atas dinukil dari buku Tujuh Filsuf Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Modern, diterbitkan oleh LKiS, dikarang oleh Zainul Hamdi -warga Averroes)
om/2007/04/filsafat-pendidikan-al-farabi.html
ebutan Al-Farabi berasal dari kota Farab. Nama lengkap Al-Farabi : Abu Nashr Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Tharkhan Al-Farabi. Al-Farabi pernah tinggal di Baghdad selama 20 tahun, belajar pada Bishr Matta Ibnu Yunus dan Juhana Ibnu Haylam, kemudian ia pindah ke Aleppo untuk memperdalam ilmu pengetahuan dan filsafat dan juga mengarang . Al-Farabi adalah seorang filosof muslim dalam arti yang sebenarnya.
Ia telah menciptakan sistem filsafat yang relatif lengkap, dan telah memainkan peranan penting dalam perkembangan pemikiran filsafat di dunia Islam. Ia menjadi anutan/guru dari filosof-filosof Islam sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd
.
Al-Farabi terkenal sebagai filosof sinkretisme yang mempercayai filsafat. Al-Farabi berusaha meemadukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelumnya, terutama pemikiran plato dan plotinus, juga antara agama dan filsafat . Usaha Al-Farabi diperluas lagi, bukan hanya mempertemukan aneka aliran filsafat yang bermacam-macam, tapi ia berkeyakinan bahwa aliran-aliran tersebut pada hakikatnya satu, meskipun berbeda-beda corak dan macamnya . Menurutnya, tujuan filsafat itu memikirkan kebenaran, karena kebenaran itu hanya ada satu, tidak ada yang lain
.
Al-Farabi berkeyakinan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan, justru sama-sama membawa kebenaran . Hal ini terbukti dengan karangannya yang berjudul Al-Jami’ Baina Ra’yani Al-Hakimain dengan maksud mempertemukan pikiran-pikiran plato dengan Aristoteles. Kendatipun begitu, Al-Farabi juga mempertemukan hasil-hasil pemikiran filsafat dengan wahyu dengan bersenjatakan ta’wil (interpretasi batini) . Al-Farabi umumnya dianggap sebagai pendiri dan seorang wakil paling terkemuka aliran utama filsafat Islam, yaitu aliran Masysyai (Peripaterik) filosof-keilmuan. Tidak heran jika ia mendapat gelar Al-Mu’alim Al-Tsani
Al-Farabi adalah orang pertama yang memberikan uraian sistematik terhadap hirearki wujud dalam kerangka hirearki intelegensi dan jiwa serta pemancaran (faidh)-nya dari Tuhan. Al-Farabi membagi wujud menjadi tiga jenis berdasarkan jumlah sebabnya. Pertama, wujud keberadaannya sama sekali tidak memiliki sebab. Al-Farabi menyebut wujud ini sebagai wujud pertama atau sebab pertama yang merupakan prinsip tertinggi eksistensi setiap wujud lainnya. Tentang prinsip tertinggi ini hanya terbatas pada pengetahuan tentang hal itu dan bukan prinsip-prinsip wujudnya. Kedua, wujud yang memiliki keempat sebab Aristetolian: material, formal, efisien, dan final. Jenis kedua ini mengacu kepada genus-genus benda terindra, termasuk benda langit. Ketiga, wujud yang sepenuhnya immaterial - yang lain daripada wujud benda di dalam atau menempati benda-benda . Atas dasar tiga skema klasifikasi wujud di atas, maka pembahasan makalah ini mengecil pada basis ontologis yang khas Faribian